Jumat, 23 Januari 2015

Apa itu Upacara Adat Ngaben?



Upacara Adat Ngaben di Bali
Bali merupakan salah satu propinsi di Indonesia yang memiliki penduduk terbanyak pemeluk agama hindu, degan kepemelukan agama hindu ini penduduk bali memiliki kpercayaan layaknya pemeluk hindu pada umumnya yang memilki kepercayaan terhadap roh. Menurut masyaratakat ini setelah sesorang meninggal, rohnya tetap hidup untuk itu mereka mempunyai upacara yang khas dalam penyelenggaraan jazad seseorang yang berpulang yang disebut Pitra Yajna dimana rangkaian dari upacara ini biasa dikenal dengan Istilah Ngaben / Palebon / Pralina dll, dan disesuaikan dengan tingkat dan kedudukan seseorang yang bernilai “Desa-Kala-Patra-Nista-Madya-Utama”.
    Ngaben secara umum didefinisikan sebagai upacara pembakaran mayat, kendatipun dari asal-usul etimologi, itu kurang tepat, sebab ada tradisi ngaben yang tidak melalui pembakaran mayat. Ngaben sesungguhnya berasal dari kata beya artinya biaya atau bekal, kata beya ini dalam kalimat aktif (melakukan pekerjaan) menjadi meyanin. Kata meyanin sudah menjadi bahasa baku untuk menyebutkan upacara sawa wadhana. Boleh juga disebut Ngabeyain. Kata ini kemudian diucapkan dengan pendek, menjadi ngaben. Ngaben atau meyanin dalam istilah baku lainnya yang disebut-sebut dalam lontar adalah atiwa-atiwa. Kata atiwa inipun belum dapat dicari asal usulnya kemungkinan berasal dari bahasa asli Nusantara (Austronesia), mengingat upacara sejenis ini juga kita jumpai pada suku dayak, di kalimantan yang disebut tiwah. Demikian juga di Batak kita dengar dengan sebutan tibal untuk menyebutkan upacara setelah kematian itu. 

Di setiap daerah di Bali adalah hal yang lazim jika urutan acara dalam tata cara pelaksanaan Ngaben akan berbeda walaupun esensi upacara tersebut sama. Ini berkaitan dengan kepercayaan adat Bali yang mengenal adanya Desa Kala Patra yang secara harfiah di terjmahkan menjadi tempat, waktu dan keadaan.
Jenasah diletakkan selayaknya sedang tidur, dan keluarga yang ditinggalkan akan senantiasa beranggapan demikian (tertidur). Di dalam Panca Yadnya, upacara ini termasuk dalam Pitra Yadnya, yaitu upacara yang ditujukan untuk roh lelulur. Makna upacara Ngaben pada intinya adalah untuk mengembalikan roh leluhur (orang yang sudah meninggal) ke tempat asalnya.
Upacara Ngaben biasanya dilaksanakan oleh keluarga sanak saudara dari orang yang meninggal, sebagai wujud rasa hormat seorang anak terhadap orang tuanya. Upacara Ngaben biasanya dilakukan dengan semarak, tidak ada isak tangis, karena di Bali ada suatu keyakinan bahwa kita tidak boleh menangisi orang yang telah meninggal, karena itu dapat menghambat perjalanan sang arwah menuju tempatnya. Mereka beranggapan bahwa, memang jenasah untuk sementara waktu tidak ada, tetapi akan menjalani reinkarnasi atau menemukan pengistirahatan terakhir di Moksha (bebas dari roda kematian dan reinkarnasi).
Upacara Ngaben atau sering pula disebut upacara Pelebon kepada orang yang meninggal dunia, dianggap sangat penting, ramai dan semarak, karena dengan pengabenan itu keluarga dapat membebaskan arwah orang yang meninggal dari ikatan-ikatan duniawinya, menuju surga, atau menjelma kembali ke dunia melalui reinkarnasi, dan ini sangat tergantung dari karmaphala selama masih hidup.
Ngaben tidak senantiasa dilakukan dengan segera. Untuk anggota kasta yang tinggi, sangatlah wajar untuk melakukan ritual ini dalam waktu 3 hari. Tetapi untuk anggota kasta yang rendah, karena upacara ini memerlukan tenaga, biaya dan waktu yang panjang dan besar, maka hal ini sering dilakukan begitu lama setelah kematian. Jenasah terlebih dahulu dikuburkan dan kemudian, biasanya baru akan dilakukan ritual Ngaben, secara bersama-sama dalam satu kampung.

Sebelum acara puncak dilaksanakan, seluruh keluarga akan memberikan penghormatan terakhir dan memberikan doa semoga arwah yang diupacarai memperoleh tempat yang baik. Setelah semuanya siap, maka mayat akan ditempatkan di “Bade” tempat jenazah yang akan diusung ke kuburan, secara beramai-ramai ke tempat upacara Ngaben, diiringi dengan “gamelan”, “kidung suci”, dan diikuti seluruh keluarga dan masyarakat. Bentuk lembu atau vihara ini, dibawa ke tempat kremasi melalui suatu prosesi. Prosesi ini tidak berjalan pada satu jalan lurus. Hal ini guna mengacaukan roh jahat dan menjauhkannya dari jenasah.
Sesampainya di kuburan, biasanya dilakukan di kuburan desa setempat, upacara Ngaben dilaksanakan dengan meletakkan mayat ke pemalungan (“lembu”), yaitu tempat membakar jenazah yang terbuat dari tumpukan batang pohon pisang, yang telah disiapkan, yang sebelumnya diawali dengan upacara-upacara lainnya dan doa mantra dari Ida Pedanda, kemudian “Lembu” dibakar sampai menjadi Abu. Abu ini kemudian dibuang ke Laut atau sungai yang dianggap suci.
Disini kembali dilakukan upacara penyucian roh berupa pralina oleh pendeta atau orang yang dianggap mampu untuk itu (biasanya dari clan brahmana). Pralina adalah pembakaran dengan api abstrak berupa mantra peleburan kekotoran atma yang melekat ditubuh. Kemudian baru dilakukan pembakaran dengann menggunakan api kongkrit. Jaman sekarang sudah tidak menggunakan kayu bakar lagi, tapi memakai api dari kompor minyak tanah yang menggunakan angin.
Umumnya proses pembakaran dari jenazah yang utuh menjadi abu memerlukan waktu 1 jam. Abu ini kemudian dikumpulkan dalam buah kelapa gading untuk dirangkai menjadi sekah. Sekah ini yang dilarung ke laut, karena laut adalah simbol dari alam semesta dan sekaligus pintu menuju ke rumah Tuhan.
Setelah upacara ini, keluarga dapat tenang mendoakan leluhur dari tempat suci dan pura masing-masing. Inilah yang menyebabkan ikatan keluarga di Bali sangat kuat, karena mereka selalu ingat dan menghormati lelulur dan juga orang tuanya. Terdapat kepercayaan bahwa roh leluhur yang mengalami reinkarnasi akan kembali dalam lingkaran keluarga lagi, jadi biasanya seorang cucu merupakan reinkarnasi dari orang tuanya.
Demikian secara singkat rangkaian prosesi ngaben di Bali. Ada catatan lain yaitu untuk bayi yang berumur dibawah 42 hari dan atau belum tanggal gigi, jenazahnya harus dikubur. Ngabennya dilakukan mengikuti ngaben yang akan ada jika ada keluarganya yang meninggal.
Status kelahiran kembali roh orang yang meninggal dunia, berhubungan erat dengan karma dan perbuatan serta tingkah laku selama hidup sebelumnya. Secara umum, orang Bali merasakan bahwa roh yang lahir kembali ke dunia hanya bisa di dalam lingkaran keluarga yang ada hubungan darah dengannya. Lingkaran hidup mati bagi orang Bali adalah karena hubungannya dengan leluhurnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar