Jumat, 19 Desember 2014

Kajian filsafat pancasila



Kajian filsafat pancasila

            Filsafat diartikan sebagai keinginan yang sungguh-sungguh untuk mencari kebenaran yang sejati. Filsafat merupakan indtik ilmu pengetahuan.Filsafat Pancasila , Kebenaran dari sila-sila Pancasila sebagai dasar negara atau dapat pula diartikan bahwa Pancasila merupakan satu kesatuan sistem yang utuh dan logis. Pancasila merupakan filsafat negara yang lahir sebagai collective ideologic (cita-cita bersama) dari seluruh bangsa Indonesia. Dikatakan sebagai filsafat, karena Pancasila merupakan hasil perenungan jiwa yang mendalam yang dilakukan oleh the founding father bangsa Indonesia, kemudian dituangkan dalam suatu "sistem" yang tepat. Adapun menurut Notonagoro, Filsafat Pancasila memberi pengetahuan dan pengertian ilmiah, yaitu tentang hakikat dari Pancasila.
Pancasila sebagai Kesatuan sistem filsafat memiliki
1. Dasar ontologis

Secara ontologis, kajian Pancasila sebagai filsafat dimaksudkan sebagai upaya untuk mengetahui hakekat dasar dari sila-sila Pancasila. Hakekat dasar ontologis Pancasila adalah manusia karena manusia merupakan subyek hukum pokok dari sila-sila pancasila
2. Dasar epistemologis
Kajian epistemologi filsafat Pancasila dimaksudkan sebagai upaya untuk mencari hakikat Pancasila sebagai suatu sistem pengetahuan. Hal ini dimungkinkan karena epistemologi merupakan bidang filsafat yang membahas hakikat ilmu pengetahuan (ilmu tentang ilmu). Kajian epistemologi Pancasila tidak dapat dipisahkan dengan dasar ontologisnya. Oleh karena itu, dasar epistemologis Pancasila sangat berkaitan erat dengan konsep dasarnya tentang hakikat manusia.
3. Dasar aksiologis
Kajian aksiologi filsafat Pancasila pada hakekatnya membahas tentang nilai praksis atau manfaat suatu pengetahuan tentang Pancasila. Aksiologi Pancasila mengandung arti bahwa kita membahas tentang filsafat nilai Pancasila

Sila Pancasila
Lapangan/Kajian/Tinjauan Filsafat
Ontologi
Epistemologi
Aksiologi

Pancasila dapat dilihat dari penghayatan dan pengalaman kehidupan sehari-hari
Studi tentang pengetahan (adanya) benda-benda yang menyelidiki sumber, syarat, proses terjadinya ilmu pengetahuan, batas validitas dan hakikat ilmu pengetahuanà supaya hidup lebih sejahtera à ex:bangsa Indonesia telah menemukan Pancasila
Menyelidiki nilai-nilai (value). Dari sikap manusia sehari-hari. Dapat dibedakan menjadi 2:nilai materiil dan nilai spiritual. Nilai pancasila : ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, da keadilan.
I
Diharapkan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa à sesuai dengan tujuan nasional: menjadikan manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWTàex: pelajaran PKn yang bernilai Pancasila, menghormati antar pemeluk agama
Ilmu / pengetahuan didapat dari rasio atau akal pikir yang datang dari Tuhan
Nilai ketuhanan atau religius. Ex: memeluk suatu agama sebagai pandangan hidup di dunia dan akherat.
II
Setiap manusia mempunyai harkat dan martabat yang sama, dalam pendidikan tidak membedakan usia, agama dan tingkat sosial budaya dalam menuntut ilmu à terpenuhi kebutuhan spiritual maupun materiil berjiwa pancasila
Manusia mempunyai potensi (kepribadian) yang dapat dikembangkan sehingga dapat hidup sejahtera dalam suatu ruang dan waktu
Ex: guru tidak boleh memonoli kebenaran, dengan ilmu diharap tidak ada kekerasan
Nilai kemanusiaan, nilai keadilan à dalam kehidupan tidak membeda-bedakan keturunan, ras dan kedudukan.
III
Tidak membatasi golongan dalam belajarà UUD 1945 Pasal 31 ayat 1
Proses terbentuknya pengetahuan merupakan hasil kerja sama dengan lingkungannya dan saling berkesinambungan, semakin baik kerjasama maka akan kualitas pengetahuan juga semakin baik.
Nilai persatuan à untuk mengisi kemerdekaan.
IV
Kehidupan berdemokrasià kekuasaan ada di tangan rakyatà memutuskan mufakat dengan musyawarah.ex: bebas mengeluarkan pendapat
Manusia diciptakan oleh Allah SWT untuk memimpin di muka bumi ini untuk memakmurkan umat manusia dengan bijaksana.
Nilai kerakyatan dan nilai tanggung jawab. Ex: adanya gotong royong dalam musyawarah dan tanggung jawab dalam pelaksanaan mufakat.
V
Keadilan dalam memenuhi kebutuhan di bidang materiil dan spiritual yang berdasarkan atas asas kekeluargaan.ex:tidak membeda-bedakan siswa
Ilmu pengetahuan sebagai perbendaharaan dan prestasi individu serta karya budaya umat manusia merupakan martabat kepribadian manusiaà dalam Sisdiknas:tujuan mengejar iptek dan imtaq.ex: menghargai hasil karya orang lain.
Nilai keadilan, yaitu dalam melaksanakan kewajiban dan penerimaan hak.

Karakteristik Filsafat Pancasila

    Apabila memahami nilai-nilai dan sila-sila pancasila akan terkandung beberapa hubungan manusia yang melahirkan keseimbangan antara hak dan kewajiban antara hubungan tersebut, yaitu :

1. Hubungan Vertikal
    Hubungan vertical adalah hubungan manusia dengan Tuhan YME sebagai penjelmaan dari
    nilai-nilai ketuhanan YME.

2. Hubungan Horizontal
    Hubungan Horizontal adalah hubungan manusia dengan sesamanya baik dalam fungsinya
    sebagai warga masyarakat, warga bangsa, dan warga negara.

3. Hubungan Alamiah
    Hubungan alamiah adalah hubungan manusia dengan alam sekitar yang meliputi hewan,
    tumbuh-tumbuhan dan alam dengan segala kekayaanya.  Pancasila adalah pandangan
    hidup atau ideologi yang mengatur hunungan manusia dengan tuhan, antar manusia
    dengan masyarakat atau bangsanya, dan manusia   dengan lingkungannya. Alasan
    prinsipil pancasila sebagai pandangan hidup dengan fungsinya tersebut diatas adalah
    sebagai berikut :
    a. Mengakui adanya kekuatan gaib yang ada diluar diri manusia menjadi pencipta serta
        penguasa alam semesta.
    b. Keseimbangan dalam hubungan, keserasian-keserasian dan untuk menciptakannya perlu
        pengendalian
    c. Dalam mengatur hubungan, peranan dan kedudukan bangsa sangat penting . persatuan
        dan kesatuan sebagai bangsa merupakan nilai sentral.
    d. Kekeluargaan, gotong royong, kebersamaan, serta musyawarah untuk mufakat dijadikan
        sendi kehidupan bersama.
    e. Kesejahteraan bersama menjadi tujuan hidup bersama.

Kajian filsafat pancasila Negara

Sebagai filsafat dan pandangan hidup bangsa Indonesia, Pancasila telah menjadi obyek aneka kajian filsafat. Antara lain terkenallah temuan Notonagoro dalam kajian filsafat hukum, bahwa Pancasila adalah sumber dari segala sumber hukum di Indonesia. Sekalipun nyata bobot dan latar belakang yang bersifat politis, Pancasila telah dinyatakan dalam GBHN 1983 sebagai “satu-satunya azas” dalam hidup bermasyarakat dan bernegara. Tercatat ada pula sejumlah naskah tentang Pancasila dalam perspektif suatu agama karena selain unsur-unsur lokal (”milik dan ciri khas bangsa Indonesia”) diakui adanya unsur universal yang biasanya diklim ada dalam setiap agama. Namun rasanya lebih tepat untuk melihat Pancasila sebagai obyek kajian filsafat politik, yang berbicara mengenai kehidupan bersama manusia menurut pertimbangan epistemologis yang bertolak dari urut-urutan pemahaman (”ordo cognoscendi”), dan bukan bertolak dari urut-urutan logis (”ordo essendi”) yang menempatkan Allah sebagai prioritas utama.
Pancasila sebagai falsafah kategori pertama adalah perwujudan bentuk bangunan yang diangan-angankan dalam penggambaran di atas kertas, dan Pancasila sebagai falsafah. Kategori yang kedua adalah adanya lokasi serta tingkat ketersediaan bahan-bahan untuk merealisasikan bangunan yang dicita-citakan. Pancasila sebagai falsafah yang dimaksudkan adalah tiap sila di dalamnya yang oleh karena perkembangan sejarah masih tetap berfungsi sebagai landasan ideologis, maupun nilai-nilai filsafat yang dapat kita masukkan kedalamnya adalah sila Ketuhanan Yang Maha Esa dan sila Persatuan Indonesia.
Pancasila tidak dapat diragukan lagi dalam naskah Pembukaan UUD 1945 dan dalam kata “Bhinneka Tunggal Ika” dalam lambang negara Republik Indonesia. Dalam naskah Pembukaan UUD 1945 itu, Pancasila menjadi “defining characteristics” = pernyataan jati diri bangsa = cita-cita atau tantangan yang ingin diwujudkan = hakekat berdalam dari bangsa Indonesia. Dalam jati diri ada unsur kepribadian, unsur keunikan dan unsur identitas diri.
Sesungguhnya dalam kata “Bhinneka Tunggal Ika” terdapat isyarat utama untuk mendapatkan informasi tentang arti Pancasila, dan kunci bagi kegiatan merumuskan muatan filsafat yang terdapat dalam Pancasila. Dalam konteks itu dapatlah diidentifikasikan mana yang bernilai universifal dan mana yang bersifat lokal = ciri khas bangsa Indonesia. Secara harafiah “Bhinneka Tunggal Ika” identik dengan “E Pluribus Umum” pada lambang negara Amerika Serikat. Demikian pula dokumen Pembukaan UUD 1945 memiliki bobot sama dengan “Declaration of Independence” negara tersebut. Suatu kajian atas Pancasila dalam kacamata filsafat tentang manusia menurut aliran eksistensialisme disumbangkan oleh N Driyarkara. Menurut Driyarkara, keberadaan manusia senantiasa bersifat ada-bersama manusia lain. Oleh karena itu rumusan filsafat dari Pancasila adalah sebagai berikut:
Aku manusia mengakui bahwa adaku itu merupakan ada-bersama-dalam-ikatan-cintakasih (”liebendes Miteinadersein”) dengan sesamaku. Perwudjudan sikap cintakasih dengan sesama manusia itu disebut “Perikemanusiaan yang adil dan beradab”.
Perikemanusiaan itu harus kujalankan dalam bersama-sama menciptakan, memiliki dan menggunakan barang-barang yang berguna sebagai syarat-syarat, alat-alat dan perlengkapan hidup. Penjelmaan dari perikemanusiaan ini disebut “keadilan sosial”.
Perikemanusiaan itu harus kulakukan juga dalam memasyarakat. Memasyarakat berarti mengadakan kesatuan karya dan agar kesatuan karya itu betul-betul merupakan pelaksanaan dari perikemanusiaan, setiap anggota harus dihormati dan diterima sebagai pribadi yang sama haknya. Itulah demokrasi = “kerakyatan yang dipimpin …”.
Perikemanusiaan itu harus juga kulakukan dalam hubunganku dengan sesamaku yang oleh perjalanan sejarah, keadaan tempat, keturunan, kebudayaan dan adat istiadat, telah menjadikan aku manusia konkrit dalam perasaan, semangat dan cara berfikir.Itulah sila kebangsaan atau “persatuan Indonesia”.
Selanjutnya aku meyakini bahwa adaku itu ada-bersama, ada-terhubung, serba-tersokong, serba tergantung. Adaku tidak sempurna, tidak atas kekuatanku sendiri. Adaku bukan sumber dari adaku. Yang menjadi sumber adaku hanyalah Ada-Yang-Mutlak, Sang Maha Ada, Pribadi (Dhat) yang mahasempurna, Tuhan yang Maha Esa.Itulah dasar bagi sila pertama: “Ketuhanan yang Maha Esa”.


Kajian filsafat pancasila masyarakat
Menurut Ronny Hanitijo Soemitro ( 1985 : 69 ) mengatakan masyarakat dianggap sebagai suatu sistem sosial yang mampu mengembangkan dirinya sendri, yang berisi semua dasar struktural dan fungsional dari suatu subsistem yang independen.  Soerjono Soekanto dan Mustafa Abdullah ( 1982 : 33 ) mengatakan bahwa hukum merupakan bagian dari kebudayaan suatu masyarakat. Hukum tidak akan bisa dipisahkan dari jiwa serta cara berpikir daripada masyarakat yang mendukung kebudayaan tersebut. Maka bisa dikatakan bahwa hukum merupakan perwujudan dari jiwa serta cara berpikir masyarakat.
Kehidupan masyarakat tidak akan terlepas dari hukum yang mengaturnya. Hukum sebagai perwujudan jiwa dan cara berpikir ini mengandung maksud bahwa hukum merupakan suatu peraturan yang dibuat oleh masyarakat dan digunakan untuk mengatur kehidupan masyarakat tersebut. Maka untuk mewujudkan dari hukum yang dibuat oleh masyarakat tersebut dengan cara menaati dari segala aspek isi dan tujuan dari peraturan hukum tersebut.
Ronny Hanitijo Soemitro ( 1985 : 103 )  menyatakan hukum bisa menjadi kontrol sosial bagi masyarakat itu sendiri. Karena kontrol sosial dapat mencegah terjadinya tingkah laku yang menyimpang pada masyarakat itu.
Satjipto Rahardjo ( dalam Soleman Taneko, 1993 : 41 ) mengatakan bahwa hukum sebagai sarana rekayasa sosial, inovasi, social engineering yang tidak hanya digunakan untuk mengukuhkan pola-pola kebiasaan dan tingkah laku yang terdapat dalam masyarakat, melainkan juga untuk mengarahkan pada tujuan-tujuan yang dikehendaki, menghapus kebiasaan-kebiasaan yang dipandang tidak sesuai lagi, menciptakan pola-pola kelakuan baru dan sebagainya.
Beberapa pendapat tersebut pada hakekatnya merujuk pada satu inti permasalahan yaitu hukum ada di masyarakat untuk memperbaiki tingkah laku masyarakat itu sendiri. Untuk menciptakan hal tersebut maka masyarakat harus sadar akan keberadaan hukum itu untuk mengarahkan kehidupan masyarakat yang lebih baik.
Paul Scoholten ( dalam Soerjono Soekanto dan Soleman, 1983 : 343 ) mendefinisikan kesadaran hukum adalah suatu kesadaran yang terdapat di dalam diri setiap manusia mengenai yang ada atau perihal hukum yang diharapkan sehingga ada kemampuan untuk membedakan antara hukum yang baik dengan hukum yang buruk. Kemudian Soerjono Soekanto ( 1983 : 343 ) mengartikan kesadaran hukum merupakan kesadaran atau nilai-nilai yang terdapat di dalam diri manusia tentang hukum yang ada atau tentang hukum yang di harapkan ada.
Penekanan pada kesadaran hukum ini lebih ditekankan pada nilai-nilai tentang hukum itu sendiri dan bukan suatu penilaian hukum terhadap kejadian-kejadian yang kongkrit dalam masyarakat yang bersangkutan.
Untuk menjadi masyarakat yang sadar pada hukum maka perlu beberapa hal yang perlu diperhatikan antara lain :
  1. Setiap manusia berhak atas pengakuan sebagai manusia pribadi terhadap hukum. Setiap manusia pribadi adalah sama terhadap hukum. Karena manusia semua berkodrat sama.
  2. Semua manusia dan tiap-tiap warga negara harus taa dan mematuhi hukum. Jika ada pelanggaran terhadap hukum, tanpa memperdulikan kedudukan pelanggarnya harus diadili penegak hukum yang tak memihak, ukuran dan dasar pengadilan hanya hukum yang berlaku.
  3. Dalam masyarakat memang harus ada pemberi hukum, tetapi hendaklah selalu diingat, bahwa hukum itu bukan alat pengangkat, melainkan bertujuan untuk melindungi rakyat, hukum hendaklah merupakan pengayoman manusia pribadi dan segenap warga negara ( masyarakat ) sebagai keseluruhannya tanpa kecuali. ( Widjaja, 1984 : 19 )
Sedangkan menurut Kutschinsky ( dalam Soerjono Soekanto dan Soleman, 1983 : 348 ) memberikan indikator-indikator dari masalah kesadaran hukum masyarakat yaitu :
  1. Pengetahuan tentang peraturan-peraturan hukum ( law awareness )
  2. Pengetahuan tentang isi peraturan-peraturan hukum ( law acquaintance )
  3. Sikap terhadap peraturan-peraturan hukum ( legal attitude )
  4. Pola perilaku hukum ( legal behavior )
Tetapi pada saat ini posisi masyarakat untuk sadar pada hukum itu masih sangat kurang sekali. Paradigma yang dipakai oleh masyarakat untuk taat hukum adalah obyek sanksinya. Masyarakat akan menilai hukum dari sanksi yang di berikan jika melanggar. Sehingga masyarakat akan lebih mengutamakan untuk taat pada peraturan yang mempunyai berat daripada yang ringan. Menurut Adam Podgorecki dan Christopher Whelan ( terjemahan Widyaningsih, 1987 : 256 ) mengatakan bahwa kepatuhan dan ketidakpatuhan terhadap hukum serta hubungannya dengan sanksi atau rasa takut terhadap sanksi dikatakan relevan atau memiliki suatu pertalian yang jelas apabila aturan-aturan hukum dengan sanksi-sanksinya atau dengan perlengkapannya untuk melakukan tindakan paksaan sudah diketahui atau dipahami arti dan kegunaannya oleh individu atau masyarakat yang terlibat dengan hukum itu.
Faktor sanksi ini sangat berpengaruh pada bagaimana tingkat kesadaran seseorang untuk patuh hukum. Maka sanksi yang kurang tegas ini menjadi salah satu faktor penyebab lemahnya ketaatan hukum dimasyarakat. Karena masyarakat sekarang mau taat kalau ada sanksi jika melanggar. Kesadaran hukum oleh masyarakat merupakan faktor penentu untuk bisa menunjukkan perilaku yang taat pada hukum. Upaya untuk membina masyarakat untuk bisa sadar akan hukum perlu di bina dengan tidak hanya melalui pengetahuan saja tetapi mental dan perilaku masyarakat harus diarahkan untuk menuju ke hal tersebut.
  Internalisasi Nilai-nilai Pancasila untuk meningkatkan kesadaran hukum di masyarakat
Setiap negara memiliki pandangan hidup masing-masing untuk menentukan langkah hidup ke depan. Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia. hal ini tampak bahwa Pancasila adalah jiwa, kepribadian dan pandangan hidup ( way of life) bangsa Indonesia. Menurut Hamid Darmadi ( 2010 : 249 ) mengatakan sebagai pandangan hidup, Pancasila dipergunakan sebagai petunjuk hidup sehari-hari. Dengan kata lain Pancasila sebagai penunjuk arah bagi semua kegiatan dalam aktivitas hidup.
Pancasila dianggap sebagai perwujudan jiwa seluruh rakyat Indonesia yang hidup dan berkembang dalam kepribadian bangsa. Bentuk perilaku rakyat Indonesia bisa dicerminkan dari Pancasila. Masyarakat dalam berperilaku seharusnya bisa menunjukkan bagaimana yang tertuang di sila-sila Pancasila.
Kaelan ( 2002 : 47 ) mengatakan bahwa bangsa Indonesia sebagai kausa materialis dari Pancasila. Pandangan hidup dan filsafat hidup itu merupakan kristalisasi nilai-nilai yang diyakini kebenarannya oleh bangsa Indonesia yang menimbulkan tekad bagi dirinya untuk mewujudkannya dalam sikap tingkah laku dan perbuatannya.
Nilai-nilai yang ada di Pancasila seharusnya tertanam pada seseorang sejak sudah bisa berinteraksi dengan dunia luar. Jika seseorang sudah bisa menanamkan nilai-nilai Pancasila itu maka seseorang akan bisa menjiwai dari Pancasila itu sendiri. Menurut Widjaja ( 1984 : 4 ) mengatakan pancasila didalamnya mengandung nilai-nilai yang universal ( bersifat umum ) yang dikembangkan dan berkembang dalam pribadi manusia-manusia sesuai dengan kodratnya sebagai makhluk pribadi dan sebagai makhluk sosial.
Penanaman nilai-nilai Pancasila ini bisa membangkitkan kesadaran akan dirinya atas tanggung jawab pribadi dan masyarakat. Salah satu tanggung jawab yang harus di laksanakan oleh masyarakat adalah sadar akan hukum yang berlaku saat ini. Karena dengan sadar akan hukum dapat menciptakan keseimbangan, keselarasan dan keserasian kehidupan masyarakat atas dasar kesadaran hukum yang berlaku. Kesadaran hukum masyarakat ini seharusnya ditujukan pada perwujudan dari nilai-nilai yang ada di Pancasila. Internalisasi nilai-nilai Pancasila ini sebenarnya adalah modal awal untuk menciptakan masyarakat yang sadar akan hukum yang berlaku. Darji Darmodiharjo dan Sidharta ( 2008 : 237 ) menjelaskan perlunya keberadaan dari nilai-nilai Pancasila antara lain :
  1. Nilai Pancasila timbul dari bangsa Indonesia sebagai hasil penilaian dan pemikiran filsafat bangsa Indonesia
  2. Nilai-nilai Pancasila merupakan filsafat bangsa Indonesia yang paling sesuai, yang diyakini oleh bangsa Indonesia sebagai petunjuk yang paling baik, benar, adil dan bijaksana dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara
  3. Nilai-nilai Pancasila mengandung nilai kerohanian
Maka dengan kata lain nilai-nilai Pancasila ini menjadi das Sollen ( seharusnya ) yang diwujudkan menjadi suatu kenyataan ( das sein ).
Menurut Kaelan ( 2002 : 248 ) realisasi dari internalisasi nilai-nilai Pancasila dapat diperoleh hasil sebagai berikut :
  1. Pengetahuan, meliputi aktualisasi biasa, pengetahuan ilmiah dan pengetahuan filsafat.
  2. Kesadaran, selalu mengetahui pertumbuhan keadaan yang ada dalam diri sendiri
  3. Ketaatan yaitu selalu dalam keadaan sedia untuk memenuhi wajib lahir dan batin
  4. Kemampuan kehendak, yang cukup kuat sebagai pendorong untuk melakukan perbuatan
  5. Watak dan hati nurani agar orang selalu mawas diri
Maka dari pernyataan Kaelan ini sesuai dengan apa yang menjadi  tujuan dari Pancasila dimana internalisasi nilai-nilai Pancasila bisa membangun kesadaran hukum dan arahnya untuk bisa menaati peraturan hukum yang berlaku. Masyarakat saat ini dituntut harus mampu untuk bisa menginternalisasi nilai-nilai yang tekandung di Pancasila  dalam kehidupan sehari-hari sebagai tumpuan dasar untuk hidup di negara yang berdasarkan pada hukum.
Sehingga kongkretisitas dari menginternalisasikan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila kepada masyarakat adalah membangun kesadaran masyarakat akan hukum yang berlaku sehingga tercipta keselarasan hidup yang baik antara hukum dan masyarakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar