Aliran Empirisme dalam Pendidikan
Aliran empirisme
ini dipelopori oleh John Locke, filosof Inggris yang hidup pada tahun
1632-1704. Gagasan pendidikan Locke dimuat dalam bukunya “Essay Concerning
Human Understanding.” Aliran ini bertolak dari Lockean tradition yang lebih
mengutamakan perkembangan manusia dari sisi empirik yang secara eksternal dapat
diamati dan mengabaikan pembawaan sebagai sisi internal manusia (Tirtarahardja,
2000:194). Secara etimologis, empiris berasal dari kata empiri yang berarti
pengalaman. Pokok pikiran yang dikemukakan oleh aliran ini menyatakan bahwa
pengalaman adalah sumber pegetahuan sedangkan pembawaan yang berupa bakat tidak
diakui.
Bagi
penganut empirisme sumber pengetahuan yang memadai itu adalah pengalaman. Yang
dimaksud dengan pengalaman disini adalah pengalaman lahir yang menyangkut dunia
dan pengalaman bathin yang menyangkut pribadi manusia. Sedangkan akal manusia
hanya berfungsi dan bertugas untuk mengatur dan mengolah bahan-bahan atau data
yang diperoleh melalui pengalaman.
Teori ini
mengatakan bahwa anak yang lahir ke dunia dapat diumpamakan seperti kertas
putih yang kosong yang belum ditulisi atau dikenal dengan istilah “tabularasa”
(a blank sheet of paper). Aliran Empirisme merupakan aliran yang mementingkan
stimulasi eksternal dalam perkembangan manusia. Aliran ini menyatakan bahwa
perkembangan anak tergantung pada lingkungan, sedangkan pembawaan yang
dibawanya dari semenjak lahir tidak dipentingkan. Pengalaman yang diperoleh
dalam kehidupan sehari-hari didapat dari dunia sekitarnya.
Pengalaman-pengalaman itu berupa stimulan-stimulan dari alam bebas maupun
diciptakan oleh orang dewasa dalam bentuk program pendidikan.
Menurut teori
ini, pendidik memegang peranan yang sangat penting, sebab pendidik menyediakan
lingkungan yang sangat ideal kepada anak-anak dan anak akan menerima pendidikan
sebagai pengalaman. Pengalaman tersebut akan membentuk tingkah laku, sikap
serta watak anak sesuai dengan tujuan pendidikan yang diharapkan (Silverhawk,
2010).
Di sini jelas bahwa segala kecakapan dan pengetahuan anak-anak muncul dan teroptimalkan dibentuk karena pengalaman yang diserap oleh indra mereka melalui pendidikan. Anak akan dijadikan apapun tergantung guru yang mendidiknya. Oleh karena itu, perkembangan anak 100% dipengaruhi atau ditentukan oleh lingkungannya (Sukardjo dan Komarudin, 2009:21).Aliran Empirisme dipandang sebagai aliran yang sangat optimis terhadap pendidikan, sebab aliran ini hanya mementingkan peranan pengalaman yang diperoleh dari lingkungan. Adapun kemampuan dasar yang dibawa anak sejak lahir dianggap tidak menentukan keberhasilan seseorang. Pandangan di atas tentu saja patut dipertanyakan. Dalam kenyataannya, akan ditemukan anak yang berhasil karena dirinya berbakat meskipun lingkungan sekitarnya tidak mendukung (Silverhawk, 2010).
Di sini jelas bahwa segala kecakapan dan pengetahuan anak-anak muncul dan teroptimalkan dibentuk karena pengalaman yang diserap oleh indra mereka melalui pendidikan. Anak akan dijadikan apapun tergantung guru yang mendidiknya. Oleh karena itu, perkembangan anak 100% dipengaruhi atau ditentukan oleh lingkungannya (Sukardjo dan Komarudin, 2009:21).Aliran Empirisme dipandang sebagai aliran yang sangat optimis terhadap pendidikan, sebab aliran ini hanya mementingkan peranan pengalaman yang diperoleh dari lingkungan. Adapun kemampuan dasar yang dibawa anak sejak lahir dianggap tidak menentukan keberhasilan seseorang. Pandangan di atas tentu saja patut dipertanyakan. Dalam kenyataannya, akan ditemukan anak yang berhasil karena dirinya berbakat meskipun lingkungan sekitarnya tidak mendukung (Silverhawk, 2010).
Tokoh-tokoh dalam aliran empirisme :
1. Francis Bacon ( 1210 - 1292 M )
Dari mudanya
Bacon sudah mempunyai minat terhadap filsafat. Akan tetapi waktu dewasa ia
menjabat pangkat- pangkat tinggi dikerjakan inggris kemudian diangkat dalam
golongan bangsawan. Setelah berhenti dari jabatannya yang tinggi. Barulah ia
mulai menuliskan filsafatnya.
Menurut Francis
Bacon bahwa pengetahuan yang sebenarnya adalah pengetahuan yang diterima orang
melaui persatuan inderawi dengan dunia fakta. Pengalaman merupakan sumber
pengetahuan yang sejati. Dengan demikian bagi Bacon cara memcapai pengetahuan
itupun segera nampak dengan jelasnya. Haruslah pengetahuan itu dicapai dengan
mempengaruhi induksi. Haruslah kita sekarang memperhatikan yang konkrit,
mengumpulkan, mengadakan kelompok- kelompok, itulah tugas ilmu pengetahuan.
2. Thomas Hobbes ( 1588 - 1679 M )
Thomas Hobbes
adalah seorang ahli piker yang lahir di Malmesbury, ia adalah anak dari seorang
pendeta. Menurutnya bahwa pengalaman interawi sebagai permulaan segala
pengetahuan. Hanya sesuatu yang dapat disentuh dengan inderalah yang merupakan
kebenaran. Pengetahuan kita tak mengatasi pengindraan dengan kata lain
pengetahuan yang benar hanyalah pengetahuan indera saja, yang lain tidak.
Ada yang
menyebut Hobbes itu menganut sensualisme, karena ia amat mengutamakan sensus
(indra) dalam pengetahuan. Tetapi dalam hubungan ini tentulah ia anggap salah
satu dari penganut empirisme, yang mengatakan bahwa persantuhan denag indera(
impiri) itulah yang menjadi pangkal dan sumber pengetahuan.
Pendapatnya
adalah bahwa ilmu filsafat adalah suatu ilmu pengetahuan yang sifatnya umum.
Menurutnya filsafat adalah suatu ilmu pengetahuan tentang akibat- akibat atau
tentang gejela- gejela yang doperoleh. Sasaran filsafat adalah fakta, yaitu
untuk mencari sebab-sebabnya. Segala yang ditentukan oleh sebab, sedangkan
prosesnya sesuai dengan hukum ilmu pasti/ ilmu alam.
3. John Locke ( 1932 - 1704 M )
John Locke
dilahirkan di Wrington, dekat Bristol, Inggris. Ia adalah filosof yang banyak
mempelajari agama Kristen. Disamping sebagai seorang ahli hukum ia juga
menyukai filsafat dan teologi, mendalami ilmu kedokteran, dan penelitian kimia.
Dalam mencapai kebenaran, sampai seberapa jauh (bagimana) manusia memakai
kemampuannya.
Ia hendak
menyelidiki kemampuan pengetahuan manusia sampai kemanakah ia dapat mencapai
kebenaran dan bagimanakah mencapainya itu. Dalam penelitiannya ia memakai
istilah sensation dan reflecaton. Sensation adalah suatu yang dapat berhubungan
itu, reflection adalah pengenalan intuitif yang memberikan pengetahuan kepada
manusia, yang lebih baik daripada sensation.
John Locke berargumen:
- Dari jalan masuknya pengetahuan kita mengetahui bahwa innate itu tidak ada, memang agak umum orang beranggapan bahwa innate itu ada. Ia itu seperti ditempelkan pada jiwa manusia, dan jiwa membawanya ke dunia ini. Sebenarnya kenyataan telah cukup menjelaskan kepada kita bagaimana pengetahuan itu dating, yakni melalui daya-daya yang alamiah tanpa bantuan kesan-kesan bawaan, dan kita sampai pada keyakinan tanpa suatu pengertian asli.
- Persetujuan umum adalah argument yang terkuat. Tidak ada sesuatu yang dapat disetujui oleh umum tentang adanya innate idea justru dijadikan alasan untuk mengatakan ia tidak ada.
- Persetujuan umum membuktikan tidak adanya innate idea.
- Apa innate itu sebenarnya tidaklah mungkin diakui dan sekaligus juga tidak diakui adanya. Bukti-bukti yang mengatakan ada innate itu ada justru saya jadikan alasan untuk mengatakan ia tidak ada.
- Tidak juga dicetakkan (distempelkan) pada jiwa sebab pada anak idiot ide yang innate itu tidak ada padahal anak normal dan akan “idiot sama-sama berpikir”.
4. David Hume ( 1711- 1776 M )
David Hume
menjadi terkenal oleh bukunya. Buku hume, treatise of human nature (1739 M).
ditulisnya tatkala ia masih muda, yaitu tatkala ia berumur dua puluh tahunan.
Buku itu tidak terlalu banyak menarik perhatian orang, karenanya hume pindah
kesubyek lain, lalu ia menjadi seorang yang terkenal sebagai sejarawan.
Kemudian pada
tahun 1748 M ia menulis buku yang memang terkenal, yang disebutnya An Enqury
Cincering Human Understanding, waktu mudanya ia juga berpolitik tetapi tak
terlalu mendapat sukses. Ia menganalisa pengertian substansi. Seluruh
pengetahuan itu tak lain dari jumlah pengaman kita.
Apa saja yang
merupakan pengetahuan itu hanya disebabkan oleh pengalaman. Adapun yang
bersentuhan dengan indra kita itu sifat-sifat atau gejala-gejala dari hal
tersebut. Yang menyebabkan kita mempunyai pengertia sesuatu yang tetap – substansi
– itu tidak lain dari perulangan pengalaman yang demikian acap kalinya,
sehingga kita menganggap mempunyai pengertian tentang suatu hal, tetapi
sebetulnya tidak ada substansi itu hanya anggapan, khayal, sebenarnya tidak
ada.